Kamis, 12 Desember 2013

LABORATORIUM
KIMIA FISIKA

              Percobaan :  KOEFISIEN DISTRIBUSI
              Kelompok  :  III A                   

              Nama :
  1.     Maulana Adi Wibowo                               NRP.                           2313 030 025
  2.    M. Bayu Prasetyo                                      NRP.                           2313 030 049 
 3.    Vonindya Khoirun N.M.                              NRP.                           2313 030 021

             Tanggal Percobaan                : 11 Nopember 2013
             Tanggal Penyerahan              : 18 Nopember 2013
             Dosen Pembimbing                : Warlinda Eka Triastuti, S.Si. MT.
             Asisten Laboratorium             : -



PROGRAM STUDI D3 TEKNIK KIMIA
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
SURABAYA
2013



BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
      Koefisien distribusi didefenisikan sebagai suatu perbandingan kelarutan suatu zat (sampel) di dalam dua pelarut yang berbeda dan tidak saling bercampur, serta merupakan suatu harga tetap pada suhu tertentu. Praktikum koefisien distribusi bertujuan untuk menentukan harga koefisien distribusi dan mencari jumlah Wn yang tertinggal dalam campuran larutan NaOH dan Kloroform dalam HCl setelah beberapa kali ekstraksi serta kami akan memisahkan dua larutan yang tidak bisa tercampur sempurna (ekstraksi) kemudian larutan tersebut di keluarkan dari corong pemisah dan membedakannya menjadi larutan atas dan larutan bawah. Tujuan ekstraksi adalah memisahkan suatu komponen campurannya dengan menggunakan pelarut. Perbandingan konsentrasi solute (larutan) di dalam kedua pelarut tersebut disebut tetapan distribusi atau koefisien distribusi.
      Suatu zat dapat larut ke dalam dua macam pelarut yang keduanya tidak saling bercampur. Jika kelebihan cairan atau zat padat ditambahkan ke dalam campuran dari dua cairan tidak bercampur, zat itu akan mendistribusi diri diantara dua fase sehingga masing-masing menjadi jenuh. Jika zat itu ditambahkan kedalam pelarut tidak tercampur dalam jumlah yang tidak cukup untuk menjenuhkan larutan, maka zat tersebut akan tetap terdistribusikan diantara kedua lapisan dengan konsentrasi tertentu.
     Hukum distribusi adalah suatu metode yang digunakan untuk menentukan aktivitas zat terlarut dalam satu pelarut jika aktivitas zat terlarut dalam pelarut lain diketahui, asalkan kedua pelarut tidak tercampur sempurna satu sama lain. Faktor yang mempengaruhi tetapan distribusi adalah jenis zat pelarut, konsentrasi, jenis zat terlarut dan suhu.
Pentingnya praktikum koefisien distribusi ini bertujuan agar kita dapat menghitung nilai k pada pencampuran NaOH dan Kloroform pada waktu tertentu dengan menggunakan titrasi HCl (Asam Klorida).
I.2 Rumusan Masalah
      Bagaimana cara menentukan harga koefisien distribusi larutan NaOH dan Kloroform dalam HCl?
I.3 Tujuan Percobaan
Untuk mencari harga koefisien distribusi larutan NaOH dan Kloroform dalam HCl.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Dasar Teori
          Ekstraksi adalah pemisahan satu atau beberapa bahan dari suatu padatan atau cairan dengan bantuan pelarut. Pemisahan terjadi atas dasar kemampuan larut yang berbeda dari komponen-komponen dalam campuran. Pada proses ekstraksi tidak terjadi pemisahan segera dari bahan-bahan yang akan diperoleh (ekstrak), melainkan mula-mula hanya terjadi pengumpulan ekstrak (dalam pelarut). Suatu proses ekstraksi biasanya melibatkan tahap-tahap seperti : mencampur bahan ekstraksi dengan pelarut dan membiarkannya saling kontak. Dalam hal ini terjadi perpindahan massa dengan cara difusi pada bidang antarmuka bahan ekstraksi dan pelarut. Dengan demikian terjadi ekstraksi yang sebenarnya, yaitu pelarut ekstrak. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan pelarut dalam proses ekstraksi diantaranya sebagai berikut :
a.    Selektivitas
       Pelarut hanya boleh melarutkan ekstrak yang diinginkan, bukan komponen-komponen lain dari bahan ekstraksi. Pada ekstraksi bahan-bahan alami, sering terjadi bahan lain (misalnya lemak, resin) ikut dibebaskan bersama-sama dengan ekstrak yang diinginkan. Dalam hal itu larutan ekstrak tercemar, larutan ekstrak tersebut harus dibersihkan, misalnya diekstrak lagi dengan menggunakan pelarut kedua.
b.    Kelarutan
       Pelarut hendaknya memiliki kemampuan melarutkan ekstrak yang besar (kebutuhan pelarut lebih sedikit).
c.    Kemampuan tidak saling tercampur
       Pada ekstraksi cair-cair, pelarut tidak boleh larut dalam bahan ekstraksi.
d.    Kerapatan
       Untuk ekstraksi cair-cair, sedapat mungkin terdapat perbedaan kerapatan yang besar antara pelarut dan bahan ekstraksi. Hal ini dimaksudkan agar kedua fasa dapat dengan mudah dipisahkan kembali setelah pencampuran (pemisahan dengan gaya berat)
e.    Reaktivitas
       Pada umumnya pelarut tidak boleh menyebabkan perubahan secara kimia pada komponen-komponen bahan ekstraksi. Seringkali ekstraksi juga disertai dengan reaksi kimia. Dalam hal ini bahan yang akan dipisahkan mutlak harus berada dalam bentuk larutan.
f.     Titik didih
       Pemisahan ekstrak dan pelarut biasanya harus dipisahkan dengan cara penguapan, destilasi atau rektifikasi, maka kedua bahan itu tidak boleh terlalu dekat dan keduanya tidak membentuk aseotrop (chyay, 2010).
          Pada sistem heterogen, reaksi berlangsung antara dua fase atau lebih. Jadi, pada sistem heterogen dapat dijumpai reaksi antara padat dan gas atau antara padat dan cairan. Cara yang paling mudah untuk menyelesaikan persoalan pada sistem heterogen adalah menganggap komponen-komponen dalam reaksi pada fase yang sama (Tim Dosen kimia, 2010 : 21).
Ekstraksi campuran-campuran merupakan suatu teknik dimana suatu larutan (biasanya dalam air) dibuat bersentuhan dengan suatu pelarut kedua (biasanya organik), yang pada hakikatnya tidak tercampurkan dengan yang pertama, dan menimbulkan perpindahan satu atau lebih zat terlarut (solut) ke dalam pelarut kedua itu. Untuk suatu zat terlarut A yang didistribusikan antara dua fasa tidak tercampurkan a dan b, hukum distribusi (atau partisi) Nernst menyatakan bahwa asal keadaan molekulnya sama dalam kedua cairan dan temperatur adalah konstan.
            Hukum distribusi atau partisi. Cukup diketahui berbagai zat-zat tertentu lebih mudah larut dalam pelarut-pelarut tertentu dibandingkan dengan pelarut-pelarut yang lain. Jadi iod jauh lebih dapat larut dalam karbon disulfida, kloroform, atau karbon tetraklorida. Lagi pula, bila cairan-cairan tertentu seperti karbon disulfida dan air, eter dan air, dikocok bersama-sama dalam satu bejana dan campuran kemudian dibiarkan, maka kedua cairan akan memisah menjadi dua lapisan. Cairan-cairan seperti itu dikatakan sebagai tak-dapat-campur (karbon disulfida dan air) atau setengah-campur (eter dan air), bergantung apakah satu ke dalam yang lain hampir tak dapat larut atau setengah larut. Jika iod dikocok bersama suatu campuran karbon disulfida dan air kemudian didiamkan, iod akan dijumpai terbagi dalam kedua pelarut. Suatu keadaan kesetimbangan terjadi antara larutan iod dalam karbon disulfida dan larutan iod dalam air. (Vogel. 1986)
Faktor-faktor yang mempengaruhi koefisien distribusi, diantaranya:
1.   Temperatur yang digunakan.
2.   Semakin tinggi suhu maka reaksi semakin cepat sehingga volume titrasi menjadi kecil, akibatnya berpengaruh terhadap nilai k.
3.   Jenis pelarut.
Apabila pelarut yang digunakan adalah zat yang mudah menguap maka akan sangat mempengaruhi volume titrasi, akibatnya berpengaruh pada perhitungan nilai k.
4.   Jenis terlarut.
Apabila zat akan dilarutkan adalah zat yang mudah menguap atau higroskopis, maka akan mempengaruhi normalitas (konsentrasi zat tersebut), akibatnya mempengaruhi harga k.
5.   Konsentrasi
Makin besar konsentrasi zat terlarut makin besar pula harga k.
Harga K berubah dengan naiknya konsentrasi dan temperatur. Harga K tergantung jenis pelarutnya dan zat terlarut. Menurut Walter Nersnt, hukum diatas hanya berlaku bila zat terlarut tidak mengalami disosiasi atau asosiasi, hukum di atas hanya berlaku untuk komponen yang sama.  
Distribusi larutan antara dua pelarut yang tak larut atau pelarut yang hanya sedikit larut dapat dilakukan dengan beberapa zat terlarut dimana pasangan pelarut immisiblenya dapat ditemukan larut sedangkan iodine larut di dalam keduanya. Bila iodine dikocok dalam larutan yang terdiri dari karbon tetraklorida dan air maka iodine akan terdistribusi Jika suatu sistem terdiri dari dua fraksi komponen larutan (liquida) yang tidak saling larut satu sama lain atau immisible, ke dalamnya ditambahkan suatu zat yang larut dalam kedua komponen larutan tersebut, maka zat tersebut akan terdistribusi dengan sendirinya diantara kedua fasa larutan yang saling tidak larut tersebut sampai pada akhirnya mencapai kesetimbangan.

R1 = R2
Apabila zat terlarut X terdistribusi dalam dua pelarut yang sukar melarut satu dengan lainnya pada temperatur konstan, maka pada keadaan setimbang ; laju (R1) molekul X yang berpindah dari pelarut A ke pelarut B akan sama dengan laju (R2) perpindahan molekul X dari pelarut B ke pelarut A.

Kelarutan terjadi hanya pada permukaan (interface) molekul, dimana terdapat sifat kimia yang sama atau mirip antara dua komponen tersebut. Substansi polar cenderung lebih misible atau lebih soluble ( lebih larut) pada substansi yang polar. Begitu pula dengan substansi non polar yang cenderung lebih misible pada substansi yang non polar. Sedangkan antara substansi polar dan non polar kecenderungan misible sedikit bahkan tidak ada (immisible).
Faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan adalah :
            Suhu, konsentrasi, dan tekanan. Jika ΔH positif maka kenaikan temperatur akan menyebabkan kelarutan bertambah besar, dan jika ΔH negatif maka kenaikan temperatur akan menyebabkan kelarutan bertambah kecil. Pada gas, umumnya ΔH negatif dimana kelarutannya akan bertambah besar jika temperatur diturunkan. Pengaruh konsentrasi terhadap kelarutan umumnya terhadap fluida berwujud liquid, sedangkan pengaruh tekanan terhadap kelarutan umumnya terhadap fluida berwujud gas.
Kesetimbangan dapat diartikan sebagai keadaan dimana sistem tidak memiliki driving force untuk melakukan perubahan secara spontan. Dalam hal ini konsentrasi antara dua zat yang saling tidak larut tersebut adalah konstan. Hal ini terjadi manakala kecepatan molekul yang terdistribusi dari permukaan satu ke permukaan yang lain (permukaan dua)  sama dengan kecepatan distribusi molekul dari permukaan dua ke permukaan satu.
Salah satu contoh adalah iodine dalam air dan karbon tetraklorida. Air dan karbon tetraklorida saling tidak ke dalam keduanya. Setelah tercapai kesetimbangan,  perbandingan konsentrasi iodine dalam air dan karbon tetraklorida pada temperatur yang tetap akan sama. (Maron Lando)
Contoh lain  dari sistem kesetimbangan ini adalah : merkuri bromida dalam air dan benzena. Merkuri bromida mempunyai sifat larut pada air dan benzena. Bila larutan merkuri bromida dalam air dikocok dengan benzena yang tidak bercampur dengan air, maka merkuri bromida akan terbagi dalam air dan dalam benzena. Setelah tercapai kesetimbangan,  perbandingan konsentrasi merkuri bromida dalam air dan benzena pada temperatur yang tetap akan sama.
Kesetimbangan heterogen dapat dipelajari dengan 3 cara:
a.    Dengan mempelajari tetapan kesetimbangannya, cara ini digunakan untuk kesetimbangan kimia yang berisi gas.
b.    Dengan hukum distribusi nerst, untuk kesetimbangan suatu zat dalam 2 pelarut.
c.    Dengan hukum fase, untuk kesetimbangan yang umum (Scribd: Antoni Clasius).
Hal-hal yang mempengaruhi kesetimbangan sebagai berikut:
1.      Pengaruh Perubahan Konsentrasi
Perhatikan sistem kesetimbangan sebagai berikut:
                                                2SO2 + O2             2SO2

Bila ke dalam sistem ditambahkan gas oksigen, maka posisi keseimbangan akan bergeser untuk menetralkan efek penambahan oksigen.
2.      Pengaruh Tekanan
Bila tekanan dinaikkan, keseimbangan akan bergeser ke kiri yaitu mengarah pada pembentukan NO2. Dengan bergesernya ke kiri, maka volume akan berkurang sehingga akan mengurangi efek kenaikan tekanan.
3.      Pengaruh Perubahan Suhu
Reaksi pembentukan bersifat endotermik dan eksotermik. Jika suhu dinaikkan maka keseimbangan akan bergeser ke kanan, ke arah reaksi yang endotermis sehingga pengaruh suhu dikurangi (Anonim, 2010).
            Satu jenis kesetimbangan heterogen yang penting melibatkan pembagian suatu spesies terlarut antara dua fase pelarut yang tidak dapat bercampur. Misalkan, dua larutan tak bercampur seperti air dan karbon tetraklorida dimasukkan ke dalam bejana. Larutan-larutan ini terpisah menjadi dua fase dengan zat cair yang kerapatannya lebih rendah, dalam hal ini air berada pada bagian atas larutan satunya. Contoh penggunaan hukum distribusi dalam kimia yaitu dalam proses ekstraksi dan proses kromatografi.
Persamaan hukum distribusi:

GA = GAo + RT In αA
GB = GBo + RT In αB
Hukum distribusi adalah suatu metode yang digunakan untuk menentukan aktivitas zat terlarut dalam satu pelarut jika aktivasi zat terlarut dalam pelarut lain diketahui, asalkan kedua pelarut tidak tercampur sempurna satu sama lain. Faktor-faktor yang mempengaruhi koefisien distribusi diantranya:
1.        Temperatur yang Digunakan
Semakin tinggi suhu maka reaksi semakin cepat sehingga volume titrasi menjadi kecil, akibatnya berpengaruh terhadap nilai K.
2.        Jenis Pelarut
Apabila pelarut yang digunakan adalah zat yang mudah menguap maka akan mempengaruhi normalitas (konsentrasi zat tersebut) akibatnya mempengaruhi harga K.
3.        Jenis Terlarut
Apabila zat akan dilarutkan adalah zat yang mudah menguap/higroskopi, maka akan mempengaruhi normalitas (konsentrasi zat tersebut) akibatnya mempengaruhi harga K.
4.        Konsentrasi
Makin besar konsentrasi suatu zat yang terlarut makin besar pula harga K.
Harga K berubah dengan naiknya konsentrasi dan temperatur. Harga K tergantung jenis pelarutnya dan zat terlarut. Menurut Waiter Nerst, hukum diatas hanya berlaku bila zat terlarut tidak mengalami disosiasi atau asosiasi, hukum di atas hanya berlaku unuk komponen yang sama.
Hukum distribusi banyak dipakai dalam proses ekstraksi, analisis dan penentuan tetapan kesetimbangan. Dalam laboratorium ekstraksi dipakai untuk mengambil zat-zat terlarut dalam air dengan menggunakan
 pelarut-pelarut organik yang tidak bercampur seperti eter, CHCl3, CCl4, dan benzene.
Dalam industri ekstraksi dipakai untuk menghilangkan zat-zat yang tidak disukai dalam hasil, seperti minyak tanah, minyak goreng, dsb.
Hukum distribusi Nerst ini menyatakan bahwa solut akan mandistribusikan diri diantara dua pelarut yang tidak saling bercampur, sehingga setelah kesetimbangan distribusi tercapai, perbandingan konsentrasi solut di dalam kedua fasa pelarut pada suhu konstan akan merupakan suatu tetapan tang disebut koefisien distribusi (KD), jika di dalam kedua fasa pelarut tidak terjadi reaksi-reaksi apapun. Akan tetapi, jika solut didalam kedua fasa pelarut mengalami reaksi-reaksi tertentu seperti asosiasi, disosiasi, maka akan lebih berguna untuk merumuskan besaran yang menyangkut konsentrasi total komponen senyawa yang ada dalam tiap-tiap fasa, yang dinamakan angka banding distribusi (D), contoh dalam penggunaan koefisien distribusi dalam teknik kimia yaitu dapat dilihat pada aplikasi sel elektrik (Scribd: Antoni Clasius)
Pada sel elektrolit mengalir dari anoda tembaga ke katoda seng. Hal ini akan menimbulkan potensial antara kedua elektroda. Perbedaan potensial akan mencapai maksimum ini dinamakan GGL sel atau Esel. Nilai Esel bergantung pada berbagai faktor. Bila konsentrasi larutan seng dan tembaga adalah 1,0 M dan suhunya 298o K (25o C. Esel berada dalam keadaan standart dan diberi simbol Eo sel.
Salah satu faktor yang mempengaruhi Esel adalah konsentrasi. Persamaan yang menghubungkan konsentrasi dengan Esel dinamakan persamaan nerst. Bentuk persamaan tersebut adalah sebagai berikut:

Esel = Eosel -  In

            Hal yang penting untuk diketahui adalah hukum distribusi Nernst hanya berlaku bila zat terlarut tidak mengalami perubahan pada kedua pelarut. Jika solut tersebut terdisosiasi menjadi ion-ion atau molekul-molekulnya yang lebih sederhana  ataupun terasosiasi membentuk molekul yang lebih kompleks, maka hukum tersebut tidak berlaku untuk konsentrasi total dalam dua fasa tersebut tapi hanya untuk konsentrasi spesies yang sama yang hadir dalam kedua pelarut tesebut.
            Jadi misalkan suatu zat X yang terlarut dalam dua buah pelarut, dimana pada pelarut pertama, X tidak mengalami perubahan molekul sedangkan pada pelarut yang kedua X mengalami perubahan total menjadi X1 maka koefisien distribusi X bukan merupakan konsentrasi total dalam kedua fase melainkan konsentrasi total pada pelarut yang pertama dibandingkan dengan konsentrasi X yang tidak mengalami perubahan molekul dalam pelarut yang kedua. Atau dengan kata lain koefisien distribusi suatu zat merupakan perbandingan konsentrasi molekul zat yang mempunyai berat molekul yang sama.
Seperti konstanta kesetimbangan yang lain, koefisien distribusi merupakan fungsi suhu yang dinyatakan dalam persamaan.
Besarnya koefisien distribusi dapat dicari sebagai berikut :Dimana  D adalah panas yang diperlukan untuk memindahkan 1 mol zat tersebut dari pelarut satu ke pelarut yang lain.
Dalam air :
                                           CH3COOH       ---->        CH3COO-     +      H+

                                           Cw (1- a)                             Cwa             Cwa

Keterangan :   a     = Derajat dissosiasi

                   Cw  = Konsentrasi total asam dalam air

Dalam chloroform :
                                                (CH3COOH)2    ----->   2CH3COOH

                                             Cc-m                                 m        

Dimana : Cc : konsentrasi total mol/l dalam molekul tunggal
                m  : konsentrasi dalam CHCl3
Distribusi :       CH3COOH (dalam CHCl3)     ------>        CH3COOH (dalam H2O)

                                            m                                                           Cw(1-a)


K1, KD dan a tidak diketahui, namun demikian untuk setiap Cw dapat dicari dari
                        K10 =      (Cwa)2
                                          1-a
                        K10 = 6.6x10-5
Harga K1 tetap, dengan mengambil dua harga untuk Cc, Cw dan a, maka K dapat ditentukan. Selanjutnya dapat dicari harga m.
Hukum distribusi telah banyak diaplikasikan dalam berbagai bidang baik secara teoritis maupun praktek, misalnya dalam proses-proses ekstraksi, analisis, dan penentuan tetapan kesetimbangan. Ekstraksi mempunyai peranan penting dalam air dengan menggunakan pelarut-pelarut organik yang tidak bercampur seperti eter, kloroform, karbon tetraklorida, dan benzena. Ekstraksi merupakan suatu proses pentransferan komponen suatu zat  baik berupa solid maupun liquid ke dalam pelarut lain.
            Proses ekstraksi telah banyak dilakukan baik dalam skala industri maupun skala laboroatorium. Dalam skala lab ekstraksi digunakan untuk mengambil zat terlarut yang tidak diinginkan dalam pelarut, misal untuk mengambil air dari pelarut eter, kloroform, karbon tetraklorida ataupun benzena. Dalam industri, ekstraksi dipakai untuk menghilangkan zat-zat yang tidak disukai dalam hasil seperti minyak tanah, minyak goreng, dan yang lain.
            Bila zat mendistribusikan dirinya dalam dua pelarut dimana tidak terjadi disosiasi, asosiasi ataupun reaksi dengan pelarut., maka dapat dihitung berat zat yang dapat diambil dalam proses ekstraksi. Misal kita memiliki larutan yang berisi W gram dalam V1 cc larutan, dan larutan ini dikocok secara berulang-ulang dengan V2 cc pelarut lain yang tidak saling larut dengan pelarut yang pertama sampai distribusi mencapai kesetimbangan maka kita dapat menghitung solut yang tidak terekstraksi pada n kali ekstraksi.
Setelah satu kali ekstraksi, konsentrasi pada pada pelarut pertama adalah W1/V1 dan pada pelarut kedua (W – W1)/V2.            
Setelah ekstraksi kedua, terdapat W2 gram zat terlarut dalam pelarut pertama. Volume pelarut pertama tetap V1 dan volume pelarut kedua tetap V2. Sehingga koefisien distribusi setelah ekstraksi kedua dapat dituliskan sebagai berikut :

                                        
      
dimana   K = C1 / C2
                Bila harga  K diketahui maka persamaan (12) dapat dipakai untuk menghitung jumlah ekstraksi yang diperlukan untuk mengurangi jumlah solut dari W menjadi Wn.
Hal lain yang penting adalah bila dalam suatu ekstraksi tersedia sejumlah volume pelarut untuk ekstraksi, maka efisiensi ekstraksi akan lebih besar bila volume pelarut yang tersedia ini digunakan dalam beberapa kali ekstraksi daripada jika digunakan langsung dalam satu kali ekstraksi.
Dengan kata lain, efisiensi dari ekstraksi yang besar diperoleh dengan membuat V2 kecil dan n besar, sehingga lebih baik untuk mengekstraksi dengan pelarut yang volumenya sedikit, tetapi dengan berulang kali, daripada mengekstraksi satu kali dalam volume yang besar. (Sukardjo).


BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN

III.1 Variabel Percobaan
1.      Variabel Bebas : - 30ml larutan 1,25N NaOH dan 40ml larutan 1,25N NaOH
-  30ml dan 40ml kloroform dikocok 5 menit pada ekstraksi  pertama dan 5 menit pada ektraksi kedua
2.      Variabel Terikat : 0,5N HCL
3.      Variabel Kontrol : - 1 x Ekstraksi : 5 menit
-   2 x Ekstraksi : 5 menit
III.2 Bahan yang Digunakan
1.   Larutan NaOH 1,25 N
2.   Klorofom
3.   Larutan HCl 0,5 N
4.   Aquadest
5.   Indikator MO
III.3 Alat yang Digunakan
1.   Corong pemisah               
2.   Erlenmeyer                        
3.   Statif, Klem, dan Buret                                                      
4.   Gelas ukur                                                                         
5.   Labu ukur                         
6.   Beaker gelas                                  
7.   Corong                                                                                          
8.   Pipet tetes
9.   Pengaduk
10.   Timbangan Elektrik


III.4  Prosedur Percobaan
III.4.1 1 x Ekstraksi
1.        Mengambil 30 ml larutan NaOH 1,25 N dan memasukannya ke   dalam corong pemisah.
2.        Menambahkan 40 ml kloroform dan mengocoknya hingga terjadi kesetimbangan selama 5 menit.
3.        Mendiamkannya hingga terjadinya pemisahan dua lapisan.
4.        Mengambil 10 ml lapisan atas dan lapisan bawah memasukan masing masing lapisan tesebut ke dalam Erlenmeyer.
5.        Menghitung total  NaOH pada lapisan atas dan  klorofom lapisan bawah.
6.        Mentitrasi masing-masing lapisan menggunakan HCl 0,5 N dengan menggunakan indikator MO.
III.4.2 2 x Ekstraksi
1.        Mengambil 40 ml larutan NaOH 1,25 N NaOH dan memasukannya ke dalam corong pemisah.
2.        Menambahkan 30 ml kloroform dan mengocoknya hingga terjadi kesetimbangan selama 5 menit.
3.        Mendiamkannya hingga terjadi pemisahan dua lapisan.
4.        Mengambil 10 ml lapisan atas dan lapisan bawah memasukan masing masing lapisan tesebut ke dalam Erlenmeyer.
5.        Menghitung total  NaOH 1,25N pada lapisan atas dan  klorofom lapisan  bawah.
6.        Mentitrasinya dengan larutan HCl 0,5 N dengan menggunakan indikator MO.


  
                                                    BAB IV
HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

IV.1. Hasil Percobaan
Tabel IV.1.1 Hasil Ekstrasi NaOH dengan Kloroform
Ekstraksi
Waktu (Menit)


Volume (ml)
                                     


NaOH
Lapisan Atas
Klorofom
Lapisan Bawah
I
1 x 5
30 ml
40 ml
40 ml
30 ml
II
1 x 5
40 ml
30 ml
30 ml
40 ml

Tabel IV.1.2 Hasil Titrasi Lapisan Atas dan Lapisan Bawah dengan HCl
Ekstrasi
Waktu (menit)
Titrasi
Lapisan Atas (ml)
Lapisan Bawah (ml)
V1 (ml)
V2 (ml)
V rata-rata
V1 (ml)
V2 (ml)
V rata-rata
I
1 x 5 menit
5
6
5,5
2,5
2,1
1,75
II
1 x 5 menit
14,8
7,1
10,95
2,4
2
2,2

Tabel IV.1.3 Densitas Larutan Atas dan Larutan Bawah
Ekstrasi
Densitas (g/ml)
Lapisan Atas
Lapisan Bawah
I
1,15
1,216
II
0,9125
1,53

Tabel IV.1.4 Hasil Perhitungan K pada Tiap Lapisan ( N X Ekstrasi )  
n x ekstraksi
Waktu
(menit)
Konsentrasi
Kd
Lapisan Atas
Lapisan Bawah
1 Kali
5 menit
16,5333
0,9375
17,6355
2 Kali
5 menit
9,3
1,6666
5,5802

Tabel IV.1.5 Hasil Perhitungan Nilai Wn (n x ekstraksi)
n x ekstraksi
Vlap. atas
Vlap. bawah
K
W (gr)
Wn (gr)
1 x 5 menit
40 ml
30 ml
17,6355
82,48
79,1153
2 x 5 menit
30 ml
40 ml
5,5802
88,575
57,7039

IV.2 Pembahasan
Percobaan ini bertujuan untuk menentukan harga koefisien distribusi dan jumlah Wn yang tertinggal dalam campuran larutan NaOH dan Kloroform dalam HCl setelah 2 kali ekstraksi. Variabel waktu yang diperlukan pada 1 x ekstraksi yaitu selama 5 menit dan waktu yang diperlukan pada 2 x ekstraksi yaitu selama 5 menit.
 







Grafik IV.2.1 Ekstraksi Kloroform dengan NaOH 1,25 N
Pada grafik IV.3.1 menunjukan hubungan antara setiap ekstraksi dengan jumlah volume (atas dan bawah) yang didapat. Pada 1 x ekstraksi diperoleh lapisan atas sebanyak 40 ml sedangkan pada 2 x ekstraksi diperoleh lapisan atas sebanyak 30 ml. Sedangkan untuk lapisan bawah pada 1 x ekstraksi diperoleh sebanyak 30 ml sedangkan pada 2 x ekstraksi diperoleh sebanyak 40 ml.


 







Grafik IV.2.2 Titrasi lapisan atas dan lapisan bawah dengan HCl
Pada Grafik IV.3.2 menjelaskan bahwa volume HCl yang dibutuhkan untuk proses ekstraksi pada lapisan bawah membutuhkan lebih sedikit HCl dibandingkan dengan lapisan atas. Pada lapisan atas ekstraksi pertama dibutuhkan volume rata-rata penitran sebanyak 5,5 ml sedangkan dalam 2x titrasi sebanyak 10,95 ml pada lapisan bawah dalam 2x titrasi. Sementara untuk ekstraksi kedua dibutuhkan volume rata-rata penitran sebanyak 10,25  ml untuk lapisan atas dalam 2x titrasi dan 0,4 ml untuk lapisan bawah dalam 2x titrasi. Hal ini dikarenakan  larutan lapisan bawah lebih cepat tepat dalam habis bereaksi dengan HCl dan disebut titik ekuivalen. Pada titik ekuivalen ini, belum terjadi perubahan warna tetapi kelebihan satu tetes saja larutan HCl akan menyebabkan terjadinya perubahan warna dari orange menjadi merah muda yang berasal dari reaksi antara kelebihan titran asam dengan indikator MO. Percobaan diatas sesuai dengan literatur, karena kloroform bersifat lebih cepat mencapai titik ekivalen.
Gambar IV.2.3 Hubungan n x Ekstraksi dengan Densitas Lapisan Atas dan Lapisan Bawah
            Pada grafik IV.3.2 menunjukan hubungan antara n x ekstraksi dengan densitas lapisan atas dan lapisan bawah. Pada 1 x ekstraksi diperoleh densitas lapisan atas sebesar 1,15 sedangkan pada 2 x ekstraksi diperoleh densitas lapisan atas sebesar 0,9125. Hal ini tidak sesuai dengan literatur, yaitu semakin banyak ekstrasi yang dilakukan, maka zat yang tinggal ( Wn) volume yang diperoleh pada lapisan bawah / original solvent, dikarenakan semakin banyaknya NaOH yang terekstrak oleh klorofom sehingga mempengaruhi lapisan atas / lapisan bawah. Hubungan lapisan atas berbabnding lurus dengan ekstrasi. Semakin banyak ekstrasi yang dilakukan maka semakin besar densitas lapisan atas yang diperoleh dibandingkan densitas pada lapisan bawah.
(Maron dan Lando, 1994)
 










Grafik IV.2.4 Hubungan antara konsentrasi larutan dengan Kd
            Pada grafik IV.3.4 menunjukan hubungan antara n x ekstraksi dengan koefisien distribusi. Pada 1 x ekstraksi diperoleh koefisien distribusi sebesar 17,6355 sedangkan pada 2 x ekstraksi diperoleh koefisien distribusi sebesar 5,582. Hal ini sesuai dengan literatur, yaitu semakin banyak ekstrasi yang dilakukan, maka zat yang tinggal ( Wn) volume yang diperoleh pada lapisan bawah / original solvent, dikarenakan semakin banyaknya NaOH yang terekstrak oleh klorofom sehingga mempengaruhi lapisan atas / lapisan bawah. Semakin banyak ekstrasi yang dilakukan maka semakin besar harga koefisien distribusinya.
(Maron dan Lando, 1994)


 










Grafik IV.2.5 Wn dalam n x ekstraksi
            Pada grafik IV.3.5 menunjukan hubungan antara n x ekstraksi dengan Wn ( zat yang tertinggal) lapisan atas dan lapisan bawah. Pada 1 x ekstraksi diperoleh Wn sebesar 79,1153 gram. Sedangkan pada 2 x ekstraksi diperoleh Wn sebesar 57,7039. Hal ini sesuai dengan literatur, yaitu semakin banyak ekstrasi yang dilakukan, maka zat yang tinggal ( Wn) volume yang diperoleh pada lapisan bawah/original solvent, dikarenakan semakin banyaknya NaOH yang terekstrak oleh klorofom sehingga mempengaruhi lapisan atas/lapisan bawah. Hubungan lapisan atas berbanding lurus dengan ekstrasi. Semakin banyak ekstrasi yang dilakukan maka semakin besar koefisien distribusi, sehingga semakin kecil harga Wn. (Maron dan Lando, 1994).

BAB V
KESIMPULAN

Dari percobaan koefisien distribusi yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa:
1. Pada  1 x ekstrasi diperoleh harga Kd sebesar 17,6355, sedangkan pada 2 x ekstraksi diperoleh harga Kd sebesar 5,5082.
2. Pada 1 x ekstrasi diperoleh harga Wn sebesar 79,1153, sedangkan pada 2 x ekstrasi diperoleh harga Wn sebesar 57,7039.
3.   Pada 1 x ekstrasi diperoleh volume lapisan atas sebesar 40 ml. Sedangkan pada 2 x ekstrasi diperoleh volume lapisan atas sebesar 30 ml. Pada volume lapisan bawah diperoleh pada 1 x ekstraksi sebanyak 30 ml, sedangkan volume lapisan bawah pada 2 x ekstraksi sebanyak 40 ml.
4.  Pada 1 x ekstraksi untuk densitas lapisan atas diperoleh densitas seebesar 1,15, sedangkan untuk 2 x ekstraksi diperoleh densitas untuk lapisan atas sebesar 0,9125. Untuk densitas lapisan bawah pada ekstraksi 1 x diperoleh sebesar 1,216, sedangkan untuk 2 x ekstraksi diperoleh densitas sebesar 1,53.
5.   Pada 1 x ektraksi pada lapisan atas diperoleh volume rata-rata sebanyak 5,5 ml, sedangkan untuk 2 x ekstraksi pada lapisan atas diperoleh kosentrasi sebesar 10,95 ml. Sedangkan untuk 1 x ekstrakasi pada lapisan bawah pada ekstraksi diperoleh 1,75 ml, dan untuk volume rata-rata pada lapisan bawah saat 2 x ekstraksi diperoleh 2,2 ml.
6.    Semakin banyak ekstraksi maka nilai Wn semakin kecil.
7.    Semakin banyak ekstraksi yang dilakukan maka semakin besar nilai koefisien distribusi yang  didapat.
8.  Semakin banyak ekstraksi yang dilakukan, maka semakin sedikit pula zat yang akan  tertinggal di dalam larutan.
9.  Banyaknya ektraksi berbanding lurus dengan harga Kd, semakin banyak ekstraksi yang  dilakukan maka semakin besar harga Kd yang diperoleh.
10.  Hukum Nerst   berlaku baik pada larutan yang ideal dimana koefisien aktivitasnya adalah    1, pada larutan tidak ideal dimana terjadi disosiasi maupun reaksi kimia maka hukum Nerst  tidak dipenuhi dengan baik.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar